Minggu, 16 Desember 2012

Dapatkah perayaan kafir di jadikan perayaan kristen ?

Dapatkah
Perayaan Kafir Dijadikan Perayaan Kristen?

SELAMA musim dingin tahun 2004, pada masa Natal di Italia telah terjadi suatu perdebatan yang sengit. Beberapa kalangan pendidik dan guru mendukung gagasan untuk mengurangi hingga sesedikit mungkin atau bahkan menghapus sama sekali apa pun yang berkaitan dengan tradisi Natal yang bersifat agama. Mereka menyarankan hal ini mengingat jumlah murid sekolah yang bukan Katolik maupun Protestan semakin meningkat. Namun, kalangan terpelajar dan profesional lain mendesak agar tradisi itu direspek dan dilestarikan sepenuhnya.

Akan tetapi, terlepas dari perdebatan ini, dari mana sebenarnya asal usul banyak tradisi Natal? Seraya debat itu mencapai klimaks, harian Vatikan L’Osservatore Romano melakukan beberapa pengamatan yang menarik.

Mengenai tanggal perayaan Natal, harian Katolik itu menyatakan, ”Dari sudut pandang sejarah, persisnya tanggal kelahiran Yesus tersembunyi dibalik selubung ketidakpastian sejarah Roma, sensus di imperium tersebut pada waktu itu, serta riset yang dilakukan untuk abad-abad berikutnya. . . . Tanggal 25 Desember, yang telah umum dikenal, dipilih oleh Gereja Roma pada abad keempat. Tanggal ini dibaktikan kepada dewa Matahari di Roma kafir. . . Meskipun Kekristenan telah dikukuhkan oleh Edikta Konstantin, mitos tentang . . . dewa Matahari masih dipercayai secara luas, terutama di kalangan serdadu. Festival yang disebutkan di atas, yang semuanya diadakan pada tanggal 25 Desember, sesungguhnya berasal dari tradisi populer. Hal ini memberikan gagasan kepada Gereja Roma untuk mengesankan bahwa tanggal itu memiliki makna Kristen, dengan mengganti dewa Matahari dengan Matahari Keadilan yang sejati, Yesus Kristus, memilihnya sebagai hari perayaan kelahirannya.”

Bagaimana dengan pohon Natal, yang kini menjadi bagian dari tradisi Katolik?

Artikel di harian Katolik itu menunjukkan bahwa pada zaman dahulu, banyak pohon yang senantiasa hijau, seperti ”cabang pohon cemara dianggap memiliki kekuatan gaib atau menjadi obat yang berkhasiat mencegah penyakit”. Artikel itu selanjutnya mengatakan, ”Pada malam Natal, 24 Desember, kisah tentang Adam dan Hawa serta Pohon di Firdaus di bumi yang sangat populer diperingati . . . Pohon itu seharusnya pohon apel, namun karena pohon apel tidak mungkin ada pada musim dingin, pohon cemara dipajang di panggung dan beberapa apel digantungkan pada cabang-cabangnya atau, untuk melambangkan Penebusan yang akan datang, biskuit tipis yang dibuat dengan cetakan khusus yang melambangkan kehadiran Yesus pada Ekaristi, maupun permen serta berbagai hadiah untuk anak-anak.” Lalu, bagaimana selanjutnya?

Dengan menyebut bahwa tradisi penggunaan pohon Natal berawal di Jerman pada abad ke 16, harian L’Osservatore Romano menyatakan, ”Italia adalah negara terakhir yang menerima pohon Natal, sebagian karena desas-desus yang tersebar cukup luas bahwa penggunaan pohon Natal adalah kebiasaan Protestan dan karena itu harus diganti dengan palungan [Diorama Kelahiran Yesus].” Paus Paulus VI ”memulai tradisi memajang [di Alun-Alun Santo Petrus, Roma] sebuah pohon Natal yang besar” di dekat Diorama Kelahiran Yesus itu.

Setujukah Saudara bahwa seorang pemimpin agama memberikan makna yang kelihatannya Kristen kepada peristiwa serta lambang yang asal usulnya dari kekafiran kuno? Haluan yang tepat, sebagaimana diingatkan oleh Alkitab bagi orang Kristen sejati adalah, ”Apakah ada persekutuan antara keadilbenaran dengan pelanggaran hukum? Atau apakah ada persamaan antara terang dengan kegelapan?”—2 Korintus 6:14-17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar