Selasa, 04 Desember 2012

Asal usul Natal zaman modern


Asal
Usul Natal Zaman Modern

BAGI jutaan orang di seluruh dunia, Natal adalah saat yang penuh sukacita dalam setahun. Inilah waktunya untuk makan-makan, menjalankan tradisi turun-temurun, dan menikmati kebersamaan dalam keluarga. Hari Natal adalah juga kesempatan bagi sahabat dan sanak saudara untuk bertukar kartu dan hadiah.

Akan tetapi, 150 tahun yang lalu, Natal sebenarnya merupakan hari raya yang sangat berbeda. Dalam bukunya, The Battle for Christmas, profesor sejarah Stephen Nissenbaum menulis, ”Natal . . . adalah saat untuk bermabuk-mabukan karena aturan-aturan yang menuntun perilaku manusia dalam masyarakat untuk sementara diabaikan demi ’karnaval’, semacam Mardi Gras di bulan Desember.”

Bagi orang yang sangat menghormati Natal, gambaran ini mungkin mengganggu perasaannya. Mengapa orang-orang sampai hati menodai hari raya yang bertujuan memperingati kelahiran Putra Allah? Jawabannya mungkin mengejutkan saudara.



Dasar

yang Keliru

Sejak kemunculannya pada abad keempat, Natal telah diliputi oleh berbagai kontroversi. Misalnya, timbul pertanyaan tentang hari kelahiran Yesus. Karena Alkitab tidak memerinci hari maupun bulan kelahiran Yesus, berbagai tanggal telah diajukan. Pada abad ketiga, sekelompok teolog Mesir menetapkan tanggal 20 Mei sebagai hari kelahiran Yesus, sedangkan para teolog lainnya lebih menyukai tanggal-tanggal yang lebih awal, seperti tanggal 28 Maret, 2 April, atau 19 April. Menjelang abad ke-18, kelahiran Yesus dikaitkan dengan setiap bulan dalam setahun! Kalau begitu, bagaimana tanggal 25 Desember yang akhirnya terpilih?

Kebanyakan sarjana setuju bahwa tanggal 25 Desember ditetapkan oleh Gereja Katolik sebagai hari kelahiran Yesus. Mengapa? ”Kemungkinan besar alasannya adalah,” kata The New Encyclopædia Britannica, ”orang-orang Kristen masa awal ingin agar tanggalnya bertepatan dengan tanggal festival kafir Romawi bagi ’hari lahir matahari yang tak tertaklukkan’.” Tetapi mengapa orang-orang Kristen yang dianiaya dengan kejam oleh orang-orang kafir selama lebih dari dua setengah abad tiba-tiba saja mengalah pada pihak yang menganiaya mereka?


Muncul

Penyimpangan

Pada abad pertama, rasul Paulus memperingatkan Timotius bahwa ”orang-orang yang fasik dan penipu-penipu” akan menyusup ke dalam sidang Kristen dan menyesatkan banyak orang. (2 Timotius 3:13) Kemurtadan besar-besaran ini mulai terjadi setelah kematian rasul-rasul. (Kisah 20:29, 30) Setelah apa yang disebut sebagai pertobatan Konstantin pada abad keempat, sejumlah besar orang kafir berbondong-bondong memeluk suatu bentuk kekristenan yang berjaya pada masa itu. Dengan hasil apa? Buku Early Christianity and Paganism menyatakan, ”Sekelompok kecil orang percaya yang tulus tertelan di antara sekian banyak orang yang mengaku Kristen.”

Alangkah benarnya kata-kata Paulus! Halnya seolah-olah kekristenan sejati dilahap oleh penyimpangan yang bersifat kafir. Pencemaran ini sangat nyata pada peringatan hari-hari raya.

Sesungguhnya, satu-satunya perayaan yang diperintahkan agar diperingati oleh orang-orang Kristen adalah Perjamuan Malam Tuan. (1 Korintus 11:23-26) Karena praktek-praktek kafir bertalian dengan perayaan-perayaan Romawi, orang-orang Kristen masa awal tidak ambil bagian di dalamnya. Karena alasan inilah orang-orang kafir pada abad ketiga mencela orang-orang Kristen, dengan mengatakan, ”Kalian tidak mengunjungi pameran; kalian tidak berminat terhadap tontonan rakyat; kalian menolak jamuan makan rakyat, dan kalian muak terhadap pertandingan-pertandingan kudus.” Orang-orang kafir, di lain pihak, membual, ”Kami menyembah dewa-dewa dengan sukacita, dengan berpesta, dengan nyanyian dan permainan.”

Menjelang pertengahan abad keempat, sungut-sungut mulai reda. Mengapa demikian? Karena semakin banyaknya orang Kristen palsu menyusup ke dalam kawanan, gagasan-gagasan murtad berkembang. Ini menyebabkan kompromi dengan dunia Romawi. Mengomentari hal ini, buku The Paganism in Our Christianity menyatakan, ”Merupakan kebijakan Kristen yang jelas untuk mengambil alih festival-festival kafir yang lekat di hati rakyat secara turun-temurun, dan untuk memberikan sentuhan Kristen pada festival-festival tersebut.” Ya, kemurtadan yang hebat sedang mengerahkan pengaruh mautnya. Kesediaan orang-orang yang mengaku Kristen untuk menerima perayaan kafir lambat laun mulai diterima dalam masyarakat. Tidak lama kemudian, jumlah festival tahunan orang Kristen hampir sebanyak festival kafir itu sendiri. Tidak heran, Natal adalah yang terutama dari semua festival itu.


Hari

Raya Internasional

Seraya bentuk kekristenan yang berpengaruh menyebar ke Eropa, Natal pun turut menyebar. Gereja Katolik menerima pandangan bahwa sudah selayaknya untuk melestarikan perayaan yang penuh sukacita guna menghormati kelahiran Yesus. Maka, pada tahun 567 M, Dewan Penasihat Kota Tours ”mengumumkan periode 12 hari sejak Natal hingga perayaan Tiga Raja sebagai saat kudus dan musim meriah”.—The Catholic Encyclopedia for School and Home.

Tidak lama kemudian, Natal menyerap banyak corak dari festival musim panen yang tidak senonoh di Eropa bagian utara. Bersukaria lebih umum daripada bersikap khidmat seraya orang-orang menuruti kehendak hati untuk makan dan minum dengan gelojoh. Bukannya menentang tingkah laku bebas, gereja malah menyetujui hal itu. (Bandingkan Roma 13:13; 1 Petrus 4:3.) Pada tahun 601 M, Paus Gregory I menulis kepada Mellitus, misionarisnya yang berada di Inggris, dengan memberi tahu dia ”agar tidak menghentikan perayaan-perayaan kafir purba semacam itu, tetapi menyelaraskannya dengan liturgi Gereja, hanya dengan mengubah motifnya dari perayaan yang tidak beradab menjadi perayaan Kristen”. Demikian laporan Arthur Weigall, yang pernah menjadi inspektur jenderal kepurbakalaan untuk pemerintah Mesir.

Pada Abad Pertengahan, orang-orang yang berpikiran maju merasa perlu untuk angkat suara menentang sikap yang kelewat batas demikian. Mereka mengeluarkan sejumlah dekret menentang ”penyalahgunaan kemeriahan Natal”. Dr. Penne Restad, dalam bukunya berjudul Christmas in AmericaA History, mengatakan, ”Beberapa pemimpin agama menekankan bahwa manusia yang tidak sempurna butuh waktu khusus untuk bersantai dan berbuat sesuatu sekehendak hatinya, asalkan masih dalam batas-batas pengawasan Kristen.” Ini malah menambah kebingungan. Namun, itu tidak terlalu dipersoalkan, karena kebiasaan kafir telah begitu melebur dengan Natal sehingga kebanyakan orang tidak mau berhenti merayakannya. Penulis, Tristram Coffin, menyatakan seperti ini, ”Orang-orang pada umumnya melakukan apa yang menjadi kebiasaannya dan tidak banyak memberikan perhatian pada keberatan para pakar moral.”

Pada saat orang-orang Eropa mulai memasuki Dunia Baru, Natal telah menjadi hari raya yang terkenal. Namun, Natal tidak diterima dengan baik di negeri-negeri koloni. Para reformis puritan memandang perayaan tersebut sebagai perayaan kafir dan melarangnya di Massachusetts antara tahun 1659 dan 1681.

Setelah larangan dicabut, perayaan Natal semakin banyak dirayakan di seluruh koloni, khususnya di selatan New England. Akan tetapi, jika dipandang dari masa lalu perayaan tersebut, tidaklah mengherankan bahwa beberapa orang lebih berminat untuk bersenang-senang daripada menghormati Putra Allah. Salah satu kebiasaan Natal yang khususnya merusak adalah wassail (kebiasaan minum-minum waktu Natal). Kelompok anak muda yang urakan akan mendatangi tetangga-tetangga mereka yang kaya dan meminta makanan dan minuman gratis secara paksa. Jika sang tuan rumah menolak, ia biasanya dikata-katai, dan kadang-kadang rumahnya dirusak.

Keadaan pada tahun 1820-an sedemikian buruknya sehingga ”penyimpangan Natal” menjadi ”ancaman sosial yang gawat”, kata Profesor Nissenbaum. Di kota-kota seperti New York dan Philadelphia, para pemilik tanah yang kaya mulai menyewa penjaga untuk menjaga tanah mereka. Bahkan dikatakan bahwa New York City mengorganisasi pasukan polisi profesionalnya yang pertama sebagai reaksi terhadap huru-hara yang penuh kekerasan yang berlangsung selama musim Natal tahun 1827/28!


Pembaruan

terhadap Perayaan Natal

Pada abad ke-19, terdapat perubahan yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Manusia, barang, dan berita mulai menyebar lebih cepat karena jalan dan rel kereta api muncul di mana-mana. Revolusi industri menghasilkan jutaan lapangan pekerjaan, dan pabrik-pabrik terus menghasilkan pasokan barang dagangan yang tetap. Industri juga menghasilkan problem-problem sosial yang baru dan rumit, yang pada akhirnya mempengaruhi tata cara perayaan Natal.

Sejak dulu, masyarakat telah memanfaatkan hari-hari raya sebagai sarana penguat ikatan keluarga, demikian pula halnya dengan perayaan Natal. Dengan merevisi kembali beberapa tradisi Natal masa lampau secara selektif, para penganjurnya berhasil mengubah perayaan Natal yang semula liar dan meriah menjadi hari raya yang terpusat pada keluarga.

Bahkan, menjelang akhir abad ke-19, Natal dipandang sebagai semacam obat penawar rasa sakit dalam kehidupan Amerika modern. ”Dibandingkan dengan hari raya lain,” kata Dr. Restad, ”Natal adalah sarana yang sangat cocok untuk menghadirkan agama dan perasaan beragama di rumah dan memperbaiki hal-hal yang kelewat batas serta kegagalan dunia pada umumnya.” Ia menambahkan, ”Pemberian hadiah, kegiatan amal, bahkan saling mengucapkan selamat Natal dengan ramah dan dekorasi serta kenikmatan dari pohon evergreen yang diletakkan di beranda, atau belakangan di ruangan sekolah Minggu, menyatukan keluarga inti dengan keluarga inti lainnya, keluarga inti dengan gereja, serta keluarga inti dengan masyarakat.”

Dengan cara serupa, banyak orang dewasa ini merayakan Natal sebagai sarana untuk mengukuhkan kasih mereka terhadap satu sama lain dan membantu memelihara persatuan keluarga. Yang tidak dapat diabaikan, tentu saja, adalah dimensi rohani. Jutaan orang merayakan Natal untuk menghormati kelahiran Yesus. Boleh jadi mereka menghadiri kebaktian khusus di gereja, menciptakan suasana Natal di rumah, atau memanjatkan doa syukur kepada Yesus sendiri. Tetapi bagaimana Allah memandang perkara itu? Apakah hal-hal ini mendatangkan perkenan-Nya? Pertimbangkan apa yang Alkitab katakan.


’Mencintai

Kebenaran dan Damai’

Ketika Yesus masih berada di bumi, ia memberi tahu para pengikutnya, ”Allah adalah Roh, dan mereka yang menyembah dia harus menyembah dengan roh dan kebenaran.” (Yohanes 4:24) Yesus hidup selaras dengan kata-kata tersebut. Ia selalu berbicara tentang kebenaran. Ia dengan sempurna meniru Bapaknya, ”Yehuwa Allah kebenaran”.—Mazmur 31:5, NW; Yohanes 14:9.

Melalui halaman-halaman Alkitab, Yehuwa telah menyatakan dengan jelas bahwa Ia membenci segala bentuk tipu daya. (Mazmur 5:7) Ditinjau dari sudut pandangan ini, bukankah ironis bahwa begitu banyak aspek perayaan Natal bersumber dari dusta? Misalnya, perhatikan dongeng tentang Sinterklas. Pernahkah saudara berupaya menjelaskan kepada seorang anak, mengapa Sinterklas lebih senang masuk lewat cerobong daripada lewat pintu, sebagaimana yang dipercayai orang di banyak negeri? Dan bagaimana mungkin Sinterklas mengunjungi jutaan rumah hanya dalam satu malam? Bagaimana dengan rusa kutub yang bisa terbang? Seandainya sang anak tahu bahwa ia ternyata ditipu sehingga percaya bahwa Sinterklas benar-benar ada, tidakkah itu akan mengurangi kepercayaan sang anak pada orang-tuanya?


The

Catholic Encyclopedia dengan gamblang menyatakan, ”Kebiasaan kafir . . . melekat pada perayaan Natal.” Maka mengapa Gereja Katolik dan gereja-gereja lain dalam Susunan Kristen terus melestarikan hari raya yang kebiasaan-kebiasaannya tidak bersifat Kristen? Bukankah itu menunjukkan diterimanya ajaran-ajaran kafir?

Sewaktu berada di bumi, Yesus tidak menganjurkan manusia untuk menyembahnya. Yesus sendiri berkata, ”Yehuwa Allahmu yang harus engkau sembah, dan kepada dia saja engkau harus memberikan dinas suci.” (Matius 4:10) Demikian pula, setelah Yesus dimuliakan di surga, seorang malaikat memberi tahu rasul Yohanes untuk ’menyembah Allah’, menunjukkan bahwa tidak ada yang berubah dalam hal ini. (Penyingkapan [Wahyu] 19:10) Ini menuntun pada pertanyaan: Apakah Yesus akan berkenan terhadap penyembahan yang khidmat baginya, dan bukan bagi Bapaknya, pada hari Natal?

Jelaslah, fakta-fakta sehubungan dengan Natal zaman modern tidak lebih baik. Pada dasarnya, Natal adalah hari raya rekaan dan banyak aspek perayaan Natal terbukti berasal dari kebobrokan di masa lalu. Oleh karena itu, berdasarkan hati nurani yang baik, jutaan orang Kristen telah memutuskan untuk tidak merayakan Natal. Sebagai contoh, seorang remaja bernama Ryan mengatakan sehubungan dengan Natal, ”Sepanjang tahun, orang-orang sebegitu girangnya menanti-nantikan datangnya beberapa hari saat seluruh keluarga berkumpul dan semuanya senang. Tetapi apa istimewanya? Orang-tua saya memberi saya hadiah sepanjang tahun!” Remaja lain, Danielle, berusia 12 tahun mengatakan, ”Saya tidak rugi. Saya menerima hadiah sepanjang tahun, bukan hanya pada satu hari khusus saat orang-orang merasa harus membeli hadiah.”

Nabi Zakharia menganjurkan sesama orang Israel untuk ’mencintai kebenaran dan damai’. (Zakharia 8:19) Jika kita ’mencintai kebenaran’, seperti Zakharia dan pria-pria yang setia di masa lampau, bukankah kita hendaknya menolak perayaan agama palsu mana pun yang tidak menghormati Yehuwa, ”Allah yang hidup dan benar”?—1 Tesalonika 1:9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar